Introduction

Secara global, berbagai jenis utang termasuk utang negara, rumah tangga, dan swasta telah mencapai rekor baru sepanjang masa saat pandemi1. Dalam lingkup individu, utang memiliki pengaruh signifikan. Namun, utang bisa juga memiliki dampak negatif, misalnya di Indonesia, laporan kepada OJK tentang pinjaman online, atau pinjol telah mencapai lebih dari 50.000 laporan pada tahun 20212. Pinjol, terutama yang ilegal, memberikan tingkat bunga yang sangat tinggi hingga 10% per hari, dan menggunakan cara-cara yang sangat kasar dalam penagihan pinjaman3, 4.

Utang dan bunganya selalu memiliki peran yang esensial dalam semua lingkup perekonomian modern. Di sisi lain, keuangan Islam, yang melarang bunga, juga terus tumbuh dengan cepat di berbagai negara, yang menunjukkan bahwa sistem bebas bunga mungkin diimplementasikan dalam masyarakat global. Dalam melihat fenomena ini, artikel ini mengeksplorasi peran utang dalam ekonomi modern dan apa posisinya dalam Islam, dan juga bunga dan larangannya dalam Islam.

1. Peran Utang Di Ekonomi Modern

Utang dalam transaksi kredit adalah komitmen untuk membayar sejumlah tertentu pada seseorang di masa depan5. Dalam perekonomian, utang berfungsi untuk meringankan constraint pendapatan dari pengeluaran individu6. Utang mendorong ekonomi untuk tumbuh dengan membuat bisnis mampu berinvestasi, dan individu mampu menambah konsumsi tanpa memiliki kecukupan pendapatan saat itu. Utang juga akan meningkatkan efisiensi alokasi modal, dan secara teoritis mengalihkan risiko kepada mereka yang bisa menanggungnya. Selain itu, pemerintah dapat menggunakan utang untuk mengumpulkan dana pembangunan atau memuluskan (smoothing) pajak menghadapi fluktuasi pengeluaran7. Mereka juga dapat menggunakannya dalam membiayai kebijakan fiskal untuk menstabilkan ekonomi makro.

Utang menjadi semakin penting dalam ekonomi modern, dimana uang yang digunakan adalah uang kredit, yang diedarkan dalam bentuk pinjaman5. Lebih lagi, karena peran lembaga keuangan semakin meningkat, tabungan masyarakat yang diberikan pada Lembaga keuangan tidak akan stagnan, tapi secara aktif digunakan untuk membiayai utang. Maka, sifat intrinsik dari uang kredit dan peran lembaga keuangan membuat tabungan, uang, dan supply utang sangat terkait.

Namun, utang yang berlebihan dapat berpengaruh negatif. Seiring dengan meningkatnya utang, kemampuan kreditur untuk membayar menjadi lebih sensitif terhadap guncangan (shock) dan penurunan pendapatan6. Untuk rumah tangga dan perusahaan, utang yang lebih tinggi juga akan menghambat kemampuan untuk memuluskan (smoothing) konsumsi dan investasi8. Dalam lingkup yang lebih besar, utang yang besar menciptakan kerentanan yang memperkuat dan menularkan shock. Utang nominal yang lebih tinggi juga akan meningkatkan volatilitas, meningkatkan kerapuhan, dan mengurangi rata-rata pertumbuhan. Ini telah terjadi pada krisis 2008, dimana rasio utang yang tinggi tidak secara langsung menyebabkan krisis, tetapi ia memperburuk dampaknya9.

Besarnya tingkat utang ini layak mendapat perhatian khusus. Pada 2020, utang global secara keseluruhan telah mencapai rekor baru 256% dari PDB, karena pandemi menyebabkan output menurun dan beban fiskal meningkat1, 10. Pinjaman dari negara, perusahaan swasta non-keuangan, dan swasta dan rumah tangga juga mencapai rekor baru. Yang mengkhawatirkan, ini bukan hanya rekor khusus akibat pandemi, tetapi sebuah kelanjutan dari tren yang sedang berlangsung. Misalnya, menurut data IMF, Utang rumah tangga Indonesia meningkat tiga kali lipat dari tahun 2000 hingga 2020, dan tren yang sama terlihat di banyak negara di dunia.

Di lingkup individu, masalah utang memiliki kaitan yang besar dengan kesehatan mental11. Menurut Survey Money and Mental Health di Inggris, 46% orang yang memiliki masalah utang juga memiliki masalah kesehatan mental. Utang dan kesehatan mental menciptakan siklus yang terus berputar. Adanya kesulitan keuangan akan menyebabkan stress dan kecemasan, selanjutnya, adanya masalah-masalah mental ini akan semakin menyulitkan mereka untuk menyelesaikan masalah keuangan.

2. Utang Dalam Islam

Istilah umum terkait utang dalam Islam adalah Dayn. Dayn adalah istilah Arab untuk utang yang tercipta dari kontrak lain, seperti jual beli dan pinjaman12. Misalnya, ketika bank menjual sebuah rumah kepada nasabah dalam jual beli kredit, sebuah dayn akan tercipta senilai harga jual rumah tersebut. Umumnya, tidak ada tambahan pengembalian yang boleh ditambahkan ke utang setelah utang tersebut ditetapkan, karena ini termasuk larangan riba.

Pada setiap jenis utang, baik untuk barang atau uang, Al-Qur'an memerintahkan para pihak untuk memiliki saksi dan dokumentasi. Beberapa ulama bahkan menetapkannya sebagai wajib, walaupun mayoritas hanya menganjurkan12. Perintah ini diberikan dalam ayat berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوْهُۗ

“Hai orang-orang yang beriman, ketika kamu berutang untuk waktu tertentu, tuliskan...” (Al-Qur'an 2:282)

وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْۚ

“…Dan datangkan dua saksi-saksi dari antara laki-laki kalian;...” (Al-Qur'an 2:282)

Perintah ini berfungsi sebagai perlindungan terhadap perselisihan di masa depan, dimana banyak perselisihan terjadi akibat pinjaman. Ini juga contoh bagaimana Al-Qur'an menjaga kekayaan manusia, dimana harta merupakan salah satu maqashid (tujuan) syariah.

Sebuah istilah lain terkait utang, yaitu Qardh, lebih spesifik daripada dayn, karena qardh terbatas pada akad pinjaman. Qardh secara bahasa berarti untuk memotong, karena kontrak ini memutuskan kepemilikan suatu barang dari kreditur dan memberikannya kepada debitur12. Menurut AAOIFI, qardh adalah pengalihan kepemilikan harta yang ada padanannya (fungible), dan menjadi mengikat untuk mengembalikan harta yang serupa. Qardh terbatas pada yang barang yang ada padanannya, karena barang yang tidak ada padanannya (non-fungible) tidak dapat dikembalikan dengan barang serupa jika hilang atau musnah.

Dibolehkannya qardh berdasarkan pada sunnah dan ijma' (kesepakatan) dari para ulama. Qardh termasuk sedekah, karena Nabi (SAW) mengibaratkan meminjamkan kepada muslim lain dua kali adalah dengan memberi sekali dalam sedekah:

“Tidaklah seorang Muslim meminjamkan pinjaman kepada Muslim lain dua kali, kecuali itu akan seperti memberikannya sekali dalam sedekah”. (HR. Ibnu Majah)

Pinjaman dianggap sedekah karena akan memberikan kemudahan bagi peminjam, yang secara umum tidak akan meminta pinjaman kecuali membutuhkan. Status qardh sebagai akad non-profit juga terkait dengan larangan bunga yang akan dibahas, berarti qardh harus bebas bunga supaya sesuai syariah.

Untuk menjamin pengembalian utang, kreditur boleh meminta jaminan, sesuai fatwa DSN MUI. Jaminan ini dapat berupa jaminan dalam bentuk apapun, seperti barang gadai atau jaminan personal. Qard dapat memiliki jangka waktu pembayaran tertentu, dan jika tidak ditentukan, maka pinjaman harus dikembalikan kapan diminta. Juga tidak diperbolehkan menetapkan kontrak tukar menukar dalam qard, misalnya jual beli dan sewa, karena ini dapat dikategorikan sebagai kelebihan manfaat.

2.1 Perspektif Debitur

Bagi debitur, utang adalah sesuatu yang dibolehkan, karena Nabi (SAW) tercatat pernah berutang12. Namun, Nabi (SAW) juga tercatat sering berdoa kepada dilindungi dari utang, sehingga, ini menyiratkan bahwa utang adalah sesuatu yang harus dihindari bagi seorang Muslim13.

Aisyah berkata, “Rasulullah [SAW] sering berdoa untuk berlindung (kepada Allah) dari utang dan dosa. Saya berkata: 'ya Rasulullah, betapa seringnya engkau berlindung dari utang!’ Ia bersabda: 'Barangsiapa yang berutang, berbicara dan berdusta, dan berjanji dan mengingkarinya.” (HR. an-Nasa'i)

Aspek penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa Islam melarang pemborosan dan kemewahan berlebihan14. Artinya, utang untuk konsumsi yang berlebihan dan tidak berguna lebih tidak disukai lagi daripada utang secara umum. Selain itu, Islam juga mendorong orang untuk hidup sederhana sesuai kemampuan mereka, yang semakin menganjurkan menghindari utang. Nabi (SAW) tercatat memiliki kehidupan yang sangat sederhana seperti dalam hal makan:

Jabir bin 'Abdullah melaporkan bahwa Rasulullah (SAW) meminta makanan kepada keluarganya. Mereka (anggota rumah tangganya) berkata: Kami tidak memiliki apa-apa selain cuka. Dia memintanya, dia mulai memakannya, lalu berkata: “Cuka adalah makanan yang baik, cuka adalah makanan yang baik” (HR. Muslim).

Jika seseorang ingin berutang, ia harus memiliki niat yang jujur untuk membayar, dan penundaan dari debitur yang mampu adalah sebuah ketidakadilan. Ada peringatan tegas bagi orang-orang yang yang tidak membayar utangnya. Nabi (SAW) bahkan pernah menolak untuk shalat jenazah kepada seorang sahabat sampai utangnya sudah dibayar. Dalil berikut ini menunjukkan bagaimana seorang debitur harus bertindak dalam meminjamkan:

“Barangsiapa mengambil (meminjam) uang orang dengan niat membayar, Allah akan membayarkannya atas namanya, dan barang siapa mengambilnya (meminjamnya) untuk merusaknya, maka Allah akan merusaknya (peminjam).” (Bukhori)

”Penundaan pembayaran utang oleh orang kaya orang adalah ketidakadilan.” (HR. Bukhori)

2.2 Perspektif Kreditur

Bagi kreditur, hukum Islam menganjurkan orang untuk memberi kemudahan kepada debitur dengan memberikan tenggang waktu atau bahkan pembebasan pinjaman. Nabi (SAW) juga mendorong orang-orang untuk meminjamkan kepada orang lain karena ini akan memberikan kemudahan dan merupakan bentuk sedekah. Berikut ini adalah beberapa contoh bagaimana hukum Islam mendorong pinjaman yang mudah:

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ ۗ وَاَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

“Dan jika seseorang dalam kesulitan, maka [biarkan ada] penundaan sampai [waktu] kemudahan. Tetapi jika Anda memberi [dari hak Anda sebagai] sedekah, maka itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Al-Qur'an 2:280)

”Suatu ketika seorang pria meninggal dan ditanya, 'Apa yang biasa kamu katakan (atau lakukan) (dalam waktu hidup Anda)?' Dia menjawab, 'Saya adalah seorang pengusaha dan biasa memberikan tambahan waktu kepada orang kaya untuk membayar utangnya dan (biasa) memotong sebagian dari utang orang miskin.’ Maka dia diampuni (dosa-dosanya.)” (HR Bukhari)

3. Bunga Dalam Islam

Segala bentuk kelebihan dalam utang dikategorikan sebagai riba dalam Islam. Riba adalah dosa besar dan dikategorikan oleh Nabi (SAW) sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang membinasakan.

Nabi (SAW) berkata, "Hindari tujuh dosa besar yang membinasakan.” Orang-orang bertanya, “Ya Rasulullah (SAW)! Apakah mereka? ”Dia berkata, ”Untuk menggabungkan pihak lain dalam ibadah bersama Allah, melakukan sihir, membunuh kehidupan yang Allah haramkan kecuali dengan alasan yang adil, (menurut hukum Islam), memakan riba...” (HR Bukhari)

Riba dapat dibagi menjadi riba dayn (utang) dan riba ba'i (jual beli), bunga adalah bagian dari riba dayn. Riba dayn artinya menambah beban seseorang yang terlilit utang15. Prinsip utama yang mengatur riba dayn adalah setiap utang yang memberi manfaat adalah riba. Kita dapat menggunakan pedoman berikut untuk menentukan apakah suatu manfaat adalah riba15:

  1. Manfaat yang terpisah dari pinjaman dilarang, sedangkan manfaat yang melekat pada pinjaman diperbolehkan. Contohnya, manfaat keamanan dalam membuat rekening bank berdasarkan qardh diperbolehkan.
  2. Manfaat yang hanya diterima oleh kreditur dilarang, sedangkan manfaat yang diterima oleh kedua belah pihak atau hanya peminjam diperbolehkan. Ini termasuk tambahan waktu pembayaran atau pembebasan pinjaman.
  3. Manfaat yang disyaratkan dalam akad dilarang, sementara manfaat yang tidak disyaratkan diperbolehkan. Ini termasuk hadiah yang tidak ditentukan yang diberikan oleh pemberi pinjaman setelah pinjaman terbayarkan.
  4. Manfaat tidak disyaratkan yang diberikan sebelum pinjaman dibayarkan dilarang.

Selain itu, manfaat yang termasuk dalam riba tidak harus moneter, tapi bisa berupa barang lain atau bahkan jasa. Tidak ada nilai minimal suatu manfaat untuk dikategorikan sebagai riba15. Ini didukung oleh pernyataan ulama seperti Imam Malik dan Ibnu Qudamah.

Riba dilarang dalam Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits. Peringatan tentang riba sangat keras, bahkan termasuk perang dengan Allah dan Rasul-Nya, dan dosa-dosa yang lebih besar dari zina:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبٰوٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ - ٢٧٨

فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا فَأْذَنُوْا بِحَرْبٍ مِّنَ اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۚ وَاِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوْسُ اَمْوَالِكُمْۚ لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْن - ٢٧٩

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan apa yang tersisa [menjadi hakmu] dari bunga, jika kamu orang-orang yang beriman. Dan jika tidak, maka ketahuilah tentang perang [melawan Anda] dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika Anda bertobat, Anda boleh memiliki pokok Anda - [dengan demikian] Anda tidak melakukan kesalahan, Anda juga tidak dirugikan.” (Quran 2:278-279)

“Riba itu ada tujuh puluh derajat, yang terkecil adalah sama dengan seorang laki-laki yang berzina dengan ibunya.” (Ibnu Majah)

3.1 Dampak Bunga

Salah satu dampak terbesar dari bunga adalah menciptakan akumulasi kekayaan dalam sekelompok kecil masyarakat12. Ini karena bunga membuat pemberi pinjaman selalu untung, sedangkan peminjam bisa untung atau rugi tergantung performa usahanya16. Oleh karena itu, ini akan meningkatkan ketimpangan dalam ekonomi.

Menurut Ibnu Qayyim, larangan riba adalah karena menambah beban pada debitur yang sebagian besar miskin. Sedangkan, pemberi pinjaman mendapat lebih banyak harta tanpa alasan yang dibenarkan atau memberikan manfaat bagi peminjam. Praktik bunga juga akan mencegah praktik pinjaman tanpa bunga, karena masyarakat akan mengharapkan bunga ketika memberi pinjaman17.

Banyaknya penawaran kredit berbasis bunga juga akan mendorong pengeluaran yang berlebihan, yang bertentangan dengan larangan Islam pada pemborosan dan kemewahan12. Selain itu, pengeluaran yang berlebihan akan menciptakan ketidakstabilan ekonomi akibat penurunan tabungan dan investasi, serta peningkatan inflasi.

Dampak lain dari bunga adalah menghambat kegiatan di ekonomi riil12. Menurut al-Ghazali, mudahnya memberikan utang berbunga akan membuat orang tidak perlu repot-repot untuk terlibat aktivitas di ekonomi riil. Dalam istilah ekonomi, adanya modal atau investasi yang bebas risiko (risk-free) akan mengurangi investasi di sektor produktif.

3.2 Bunga Dan Perdagangan

Dalam sistem ekonomi Islam, lawan dari bunga dalam konteks akad pertukaran adalah perdagangan atau jual beli, seperti yang ditunjukkan dalam ayat berikut:

وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ

“...Tetapi Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...” (Al-Qur'an 2:275)

Salah satu perbedaan utama antara perdagangan dan riba adalah masalah risiko. Dalam riba, pemberi pinjaman tidak menanggung risiko, namun justru selalu mendapat keuntungan16. Sedangkan dalam jual beli, selalu ada resiko karena Islam melarang penjualan sampai penjual menerima barang. Ini sesuai dengan prinsip Islam bahwa tidak ada keuntungan yang didapat tanpa risiko18.

Perbedaan lain adalah mengenai hubungan dengan ekonomi riil, yang merupakan aspek penting dalam keuangan Islam19. Bunga tidak memiliki hubungan dengan ekonomi riil, dan hanya menciptakan nilai tambah bagi pemberi pinjaman. Sedangkan perdagangan secara langsung terhubung dengan ekonomi riil dan memberikan nilai melalui pergerakan barang dan jasa18. Adanya koneksi dengan ekonomi riil juga akan menciptakan stabilitas ekonomi19.

Oleh karena itu, lembaga keuangan Syariah menggunakan berbagai akad perdagangan dalam membiayai utang. Diantaranya adalah murabahah, akad jual beli dengan margin keuntungan; Salam, kontrak prabayar dengan barang yang ditangguhkan; istishna, kontrak manufaktur; dan ijarah, kontrak jual beli jasa. Dengan menggunakan akad-akad ini, pembiayaan syariah akan terhubung langsung dengan ekonomi riil, dan risiko bisnis akan dibagi lebih merata antara pemodal dan pembeli12.

4. Kesimpulan

Baik secara teoritis maupun praktis, utang memiliki berbagai yang merupakan roda penggerak yang penting dalam ekonomi modern. Namun, terlalu banyak utang akan menciptakan banyak masalah, baik dari skala individu hingga skala global. Beban utang yang berat dapat menyebabkan kerentanan ekonomi, kesehatan mental, dan bahkan krisis ekonomi yang berat. Dalam Islam, utang itu sendiri diperbolehkan, dan memberikan pinjaman bahkan dianggap sebagai amal kebaikan. Namun, mengambil utang tidak dianjurkan dan ada peringatan tegas bagi orang yang tidak membayar utangnya.

Di sisi lain, jumlah bunga sekecil apapun dalam Islam dilarang keras dan dikategorikan sebagai dosa besar. Bunga dilarang dalam Islam karena akan menyebabkan ketimpangan dan memisahkan hubungan dengan ekonomi riil. Untuk mengatasi ini, Keuangan Islam menggunakan akad jual beli menggantikan utang berbasis bunga. Ini akan menciptakan hubungan langsung ke ekonomi riil dan membagi risiko bisnis antara pembeli dan penjual.