Fenomena Bangkitnya Perbankan Digital
Kecepatan adopsi teknologi digital telah dipercepat beberapa tahun akibat pandemi. Misalnya, pengguna internet global dan media sosial aktif masing-masing meningkat sebesar 7,3% dan 13,2% pada tahun 20201. Hal ini mempercepat perubahan preferensi konsumen yang sudah mulai beralih ke digital bahkan sebelum pandemi. Perbankan juga terpengaruh oleh perubahan ini, dimana banyak bank tradisional yang ada mencoba meningkatkan layanan digital mereka untuk menyesuaikan dengan perubahan preferensi konsumen. Di sisi lain, bank digital murni dengan proposisi nilai teknologi yang besar dan sedikit cabang fisik ada di posisi yang baik untuk memanfaatkan perubahan ini dalam memajukan bisnis mereka.
Karena pasar perbankan digital terus berkembang, pengaruh dan dampaknya dalam lanskap perbankan secara keseluruhan serta ekonomi global akan terus meningkat. Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi konsep perbankan digital, apa yang mendorong pertumbuhannya dan apa keunggulan utamanya dibandingkan dengan rekan tradisionalnya. Juga, ada 2 bagian dari Bank Digital dengan pangsa pasar besar yang difokuskan di sini. Yang pertama adalah Bank Digital Syariah, yang berperan sebagai bank yang melayani agama terbesar kedua di dunia dengan usia media yang muda. Kedua adalah Bank Digital di Indonesia yang memiliki pasar digital yang besar dan ekonomi digital yang terus berkembang.
Bank Digital
Bank digital telah berkembang di seluruh dunia, dengan lebih dari 200 bank digital baru didirikan secara global sejak 20102. WeBank China adalah bank digital terbesar di dunia berdasarkan jumlah pengguna, dengan 270 juta pengguna3. Pasar perbankan digital global diperkirakan mencapai US$12,1 miliar 2020, dan diproyeksikan mencapai US$30,1 pada tahun 20264. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pandemi memiliki dampak penting pada perkembangan perbankan digital, karena pembatasan sosial dan masalah kesehatan membuat layanan digital bukan lagi pilihan bagi perbankan5.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendefinisikan bank digital sebagai bank yang menyediakan dan menjalankan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik di luar kantor pusatnya, atau menggunakan kantor fisik yang terbatas6. Definisi ini mendasarkan bank digital pada salurannya dan kantor-kantornya. Artinya, bank digital bukan hanya sekedar bank dengan fitur online, tetapi bank yang memiliki pengalaman digital secara penuh.
Sedangkan menurut Forbes, perbankan digital adalah layanan perbankan yang menggabungkan perbankan elektronik (internet banking) dan perbankan bergerak (mobile banking), yang merupakan definisi yang lebih luas7. DS Innovate menjelaskan perbankan digital sebagai end to end produk dan layanan perbankan yang sepenuhnya digital, yang merupakan tingkat teknologi yang lebih tinggi dibandingkan mobile dan internet banking8. Menurut BCG (Boston Consulting Group), beberapa ciri utama bank digital adalah desain tanpa cabang, pengalaman nasabah yang unggul, dan penggunaan teknologi2.
Dibandingkan dengan bank tradisional, bank digital memiliki berbagai keunggulan, diantaranya sebagai berikut:
- Lebih sedikit kenaikan biaya seiring pertumbuhannya, karena ia tidak perlu menjalankan banyak cabang fisik, atau bahkan tidak sama sekali3.
- Integrasi data yang kuat akan memperkuat aspek model risiko, efisiensi operasional, dan penargetan pelanggan.
- Efisiensi dan penggunaan data pelanggan membuat bank digital mampu melayani lebih banyak pelanggan daripada bank tradisional
- Pengalaman pelanggan yang lebih baik dengan fitur digital dan tampilan yang user-friendly
- Potensi margin yang lebih rendah karena efisiensi
- Aksesibilitas
Aksesibilitas bank digital merupakan faktor penting dari pertumbuhannya2. Bank digital dapat memberikan layanan yang terjangkau kepada segmen yang belum tersentuh perbankan, dan ini adalah nilai tambah yang besar di beberapa wilayah seperti Asia Tenggara. Bank-bank ini dapat memberikan akses yang lebih baik ke banyak layanan perbankan seperti rekening, saluran pembayaran, dan kartu kredit. Penggunaan teknologi akan juga membantu bank mengatasi asimetri informasi yang diperlukan untuk menyaring pelanggan, seperti menggunakan big data, AI/ML (Kecerdasan Buatan/Pembelajaran Mesin), dan blockchain9.
Pelanggan bank digital akan mendapat tampilan yang lebih ramah pengguna dan tingkat pelayanan yang lebih tinggi. Ini menghasilkan pengalaman pelanggan yang lebih baik, dengan fitur-fitur seperti tidak perlunya dokumentasi hardcopy, batasan kredit yang adaptif, dan tanggapan chatbot instan. Teknologi yang digunakan di bank digital dapat memberikan lebih banyak personalisasi untuk produk, seperti smart saving. Digital bank umumnya juga memiliki kapasitas inovasi yang lebih, karena mereka tidak terbebani oleh teknologi lama dan umumnya memiliki desain operasional yang lebih efisien dan ukuran perusahaan yang lebih kecil.
Meskipun ada banyak keuntungan dalam perbankan digital, masih ada risiko yang melekat, terutama di sektor perlindungan nasabah2. Misalnya, sebagai industri teknologi, serangan siber dan perlindungan data merupakan masalah terkait pelanggan yang signifikan, dan ini dapat menyebabkan risiko sistemik yang lebih besar. Lebih-lebih lagi, karena pendiri bank digital bisa jadi tidak memiliki latar belakang perbankan, sehingga mereka mungkin kurang memahami risiko pasar yang ada.
Selanjutnya, keberlanjutan sektor ini patut dipertanyakan, menurut BCG, hanya 7 dari 150 bank digital di pasar negara maju yang menghasilkan keuntungan2. Banyak pemain mendasarkan kesuksesan mereka pada metrik yang mungkin tidak berhubungan pada ke keberlanjutan finansial, seperti valuasi dan jumlah unduhan aplikasi. Supaya dapat bertahan, bank digital perlu menggabungkan aliran pendapatan berbasis biaya dan berbasis margin/bunga dengan struktur biaya yang rendah, memanfaatkan pendekatan berbasis aplikasi, tanpa cabang dan tidak adanya infrastruktur TI yang lama.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu aspek penting yang mendorong transisi ke perbankan digital adalah perubahan preferensi nasabah yang dipercepat oleh pandemi. Survei dari PwC (PricewaterhouseCoopers)10 menunjukkan bahwa faktor terpenting bagi nasabah untuk berpindah bank adalah platform mobile yang buruk, yang menunjukkan bahwa pengalaman digital adalah pendorong utama bagi pelanggan, di atas faktor tradisional seperti harga atau layanan. Pandemi juga memaksa masyarakat yang menggunakan metode pembayaran tunai untuk mengadopsi pembayaran digital, dan adopsi ini tampaknya permanen, karena menurut survei dari Visa, 68% UKM akan mengubah metode pembayaran mereka secara permanen pasca pandemi11.
Lebih lanjut, survei PwC yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa 32% nasabah perbankan ingin menghindari pergi ke cabang, naik dari 26% pada tahun 2021, sementara pelanggan yang bergantung pada cabang turun dari 42% menjadi 35%. Tapi survei ini juga menunjukkan bahwa cabang fisik masih memiliki fungsi, karena lebih dari sepertiga responden menyatakan bahwa mereka tidak akan menggunakan bank tanpa cabang terdekat, dan dua pertiga berpikir bahwa cabang fisik merupakan saluran interaksi yang bermakna.
Sebuah studi kasus yang menarik dari bank digital adalah Nubank, bank digital Brasil yang merupakan bank digital dengan valuasi tertinggi di dunia12. Sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2014, Nubank rata-rata hampir menggandakan jumlah pelanggan dan pendapatannya setiap tahun, meskipun Brasil memiliki industri perbankan yang sangat terkonsentrasi. Aspek yang menguntungkan Nubank adalah bank-bank Brasil memiliki selisih bunga (interest spread) yang besar, birokrasi yang kompleks, dan layanan pelanggan yang buruk, yang memberi ruang bagi bank digital untuk memberi solusi digital.
Dengan menggunakan teknologi, Nubank dapat menerima pelanggan baru dalam 5-10 menit, sementara bank tradisional membutuhkan 5-10 hari kerja. Pengalaman pelanggan mereka juga berkualitas tinggi, memanfaatkan layanan pelanggan yang baik, kotak pengiriman yang berkualitas, dan aplikasi online yang intuitif untuk menghilangkan gesekan dan menawarkan produk yang berorientasi nasabah. Nilai budaya mereka yang fokus pada pelanggan, otonomi tim, dan rasa kepemilikan merupakan faktor penting dalam pertumbuhannya. Namun, karena mereka fokus pada pertumbuhan, Nubank adalah belum menjadi bank yang menguntungkan, ini menjad contoh dari masalah keberlanjutan yang disebutkan sebelumnya.
Bank Digital Syariah

Pertumbuhan bank digital dan layanan perbankan digital, juga terjadi di lanskap Perbankan Syariah, karena perubahan preferensi pelanggan dan pengaruh pandemi mendorong perubahan ini secara global. Survei IFSB13 menunjukkan hampir semua Bank syariah sudah berada dalam berbagai tahap digitalisasi, dimana banyak dari mereka terdorong oleh pandemi. Bank digital murni syariah juga memiliki muncul di beberapa negara, antara lain Inggris, Indonesia, dan Jerman.
Digitalisasi di Bank Syariah akan memberikan dampak dan manfaat yang mirip sebagaimana perbankan konvensional. Ini termasuk informasi yang lebih baik dari data, meningkatkan akses pembiayaan ke UMKM, meningkatkan kepatuhan dan manajemen risiko, dan mempromosikan inklusi keuangan13. Muslim juga merupakan pasar digital yang kuat, dengan median usia muda dan penetrasi smartphone yang bagus. Selain itu, banyak negara-negara muslim memiliki sejumlah penduduk yang belum terjangkau bank, dan ini adalah pasar potensial untuk bank syariah digital.
Di sisi lain, terdapat risiko serupa dalam perbankan digital syariah, yang meliputi keamanan siber, pencucian uang, Masalah AML/CFT (Anti Money Laudering/Countering the Financing of Terrorism), dan perlindungan nasabah. Secara khusus untuk Bank Syariah, risiko Kepatuhan Syariah terkait aktivitas digital bisa muncul, karena bisa jadi ada masalah untuk memenuhi karakteristik tertentu dari akad syariah secara digital, terutama jika ada adalah kesalahan atau malfungsi.
Salah satu contoh bank syariah digital yang independen adalah Rizq dari Inggris. Rizq menawarkan fitur bank digital sebagaimana umumnya, seperti sebagai pembuatan akun cepat dan perbankan online, dan mempromosikan bebas bunga sebagai proposisi nilai mereka. Di sisi lain, Bank Syariah yang sudah ada juga menciptakan anak perusahaan digital, seperti Nomo milik Boubyan Bank di Inggris dan Insha milik Al Baraka di Jerman14. Di UEA, bank digital Rizq/Baraka telah diumumkan oleh Zurich Capital, bertujuan untuk pelanggan di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Perkembangan Bank Digital Di Indonesia
Indonesia memiliki lebih dari 200 juta pengguna internet dan sektor ekonomi digital yang berkembang pesat, sehingga, pasar Indonesia layak untuk ditonjolkan. Menurut data survei dari Mckinsey, 78% masyarakat Indonesia saat ini menggunakan perbankan digital, peningkatan yang besar dari 57% pada tahun 201715. Lebih lagi, peran cabang fisik semakin berkurang, di mana hanya 55% nasabah Indonesia mengunjungi cabang bank setiap bulan, turun dari 81% pada tahun 2017.
Data menunjukkan bahwa pasar perbankan digital Indonesia masih memiliki potensi pertumbuhan yang signifikan. Menurut survei sebelumnya, 47% orang Indonesia terbuka untuk memindahkan akun mereka ke bank murni digital. Menurut finder.com, 25% orang dewasa Indonesia memiliki rekening bank digital pada tahun 2021, dan diproyeksikan meningkat menjadi 39% pada tahun 202616. Angka ini secara global adalah kedua setelah Brasil, yang merupakan lokasi NuBank yang disebutkan di atas.
Menurut Momentum Works17, Pasar perbankan digital di Indonesia dapat dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, bank tradisional yang memiliki fitur online, yang menggabungkan fitur mobile banking untuk mengakomodasi transaksi dan mengelola akun. Yang kedua adalah bank digital pseudo/semu, yang merupakan opsi produk online dari bank komersial, dengan sistem yang sama dari opsi utama mereka. Ketiga adalah bank digital murni yang sepenuhnya mengandalkan proses online dalam proses siklus pelanggan.
Lebih khusus dalam pasar bank digital, ada 3 jenis pemain dengan sumber daya yang berbeda17. Yang pertama adalah bank lokal, seperti Jenius milik BTPN, dengan pengetahuan lokal yang ingin bergerak lebih cepat dari saingan mereka sebelum adanya disrupsi. Kedua adalah bank regional dengan brand yang kuat, seperti TMRW milik UOB yang bertujuan untuk berkembang di Indonesia. Dan yang ketiga adalah pemain teknologi atau fintech dengan keunggulan sumber daya teknologi, seperti Gojek dengan Bank Jago yang bertujuan memperkuat ekosistemnya.
Aturan perbankan Indonesia yang baru memungkinkan kepemilikan asing hampir secara penuh, sehingga memungkinkan banyak bank digital yang sebagian kepemilikannya dimiliki asing untuk beroperasi18. Aturan ini juga memberi bank proses perizinan yang lebih cepat untuk layanan baru. Namun, modal persyaratan untuk bank digital masih sama dengan bank tradisional yang sangat tinggi, dimana jumlahnya hampir 30 kali lipat jumlah kebutuhan modal bank digital Malaysia19.
Dalam Perbankan Syariah, percepatan digitalisasi adalah bagian dari development roadmap oleh OJK20. Digitalisasi disebutkan penting untuk menghadapi tantangan dari kemajuan teknologi yang pesat, sehingga menciptakan layanan yang lebih baik dan lebih nyaman untuk pelanggan dan menambahkan nilai bagi mereka. Saat ini, belum ada Islam Bank yang meluncurkan bank digital semu, dimana kebanyakan fokus untuk meningkatkan fitur online mereka.
Di luar bank yang ada, ada juga bank murni digital syariah, seperti Aladin dan Hijra Bank yang akan segera dirilis. Hijra Bank, yang merupakan bagian dari Alami Group, juga melayani banyak layanan reguler Bank Digital, seperti pendaftaran daring yang cepat dan layanan pelanggan yang baik. Namun, Hijra juga memiliki beberapa fitur inovatif yang membedakannya dari yang lain, seperti fitur Hijra Box untuk memudahkan pengelolaan keuangan dan banyak fitur Islami berbasis ibadah.
Kesimpulan
Evolusi perbankan tampaknya akan bergerak menuju perbankan digital, baik dalam bentuk layanan digital dari bank tradisional, maupun bank digital murni. Menggunakan teknologi, bank digital memiliki banyak keunggulan dibandingkan tradisional, seperti aksesibilitas, data, biaya, layanan pelanggan dan lain-lain, namun, tentu masih ada beberapa risiko, terutama dalam perlindungan konsumen. Tren ini juga terlihat pada perbankan syariah, yang akan mendapat keuntungan dan risiko yang serupa dibanding bank konvensional dengan melakukan digitalisasi. Terakhir, Indonesia memiliki potensi besar sebagai pasar digital yang besar dan berkembang, baik dalam perbankan digital konvensional atau pun syariah, dengan banyaknya pemain baru yang masuk dan adanya dukungan pemerintah mendorong digitalisasi.